-->

Soe Hok Gie, Pendiri Organisasi Mapala Yang Meningal di Puncak Mahameru

Soe Hok Gie lahir di Jakarta 17 Desember 1942. Soe Hok Gie adalah mahasiswa Fakultas Sastra di Universitas Indonesia Jurusan Sejarah. Ada kalimat yang sangat bagus dari seorang Soe Hok Gie " Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi". Suatu kalimat yang indah muncul dari seorang pemuda pecinta alam.

soe hok gie

Kecintaanya terhadap alam dan mendaki gunung tidak diragukan lagi. Mungkin sudah hampir belasan kali di mendaki gunung, tapi bukan banyak gunung melainkan hanya satu gunung yaitu Gunung Semeru. Pada tahun 1965, "Gie panggilan akrab teman-temannya, turut membantu mendirikan Mapala UI organisasi lingkungan di kalangan mahasiswa, dan menjadi pelopor pembentukan Mapala di beberapa Universitas di Indonesia hingga sekarang. 

Akhir Perjuangan Soe Hok Gie di Puncak Mahameru

soe hok gie

Dua hari setelah lebaran tahun 12 Desember 1969, tim pendakian Gunung Semeru sudah berkumpul di Stasiun Kereta Api Gambir, Jakarta Pusat, sebelum pukul 06.00 WIB. Bagi mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini merupakan pendakian pertama gunung tertinggi di Pulau Jawa denhan ketinggian 3.676 mdpl. Herman Lantang, salah satu sahabat Gie yang dipercaya sebagai pemimpin rombongan pendakian. 

Rudi Badil dalam bukunya, "Soe Hok Gie...sekali lagi" Pesta Dan Cinta Alam Bangsanya, mengisahkan, kereta api dari Jakarta berangkat pukul 07.00. Badil mengisahkan, kereta melaju terus ke Timur, tanpa menghidangkan makan siang dan malam atau kudapan ringan. Menjelang tengah malam, seusai makan nasi soto sulung di stasiun, rombongan berangkat dengan kendaraan sewaan ke desa terdekat di kaki Gunung Semeru. Menurut buku yang di terbitkan di Belanda, rombongan Soe menuju ke kecamatan Tumpang menjelang Kota Malang, lalu mendatangi Desa Kunci, Desa terakhir yang dilalu jalan mobil. "Berapa harga sewa mobil carteran itu, itu urusan Gie yang pegang duit karena dia yang paling pandai cari uang jalan" ujar Badil. 

Badil mengisahkan, rombongan singgah di rumah pimpinan Desa Gubuk Klakah, Pak Binanjar. Di sini mulai berdiskusi soal rute, tafsir jalan menuju puncak Semeru sesuai tulisan buku Belanda. Herman ngotot harus lewat Kali Amprong. Pak Binanjar menyebutkan kalau penduduk lokal memilih ke puncak Semeru lewat Desa Ranupane karena lebih landai dan tidak menanjak, tidak juga menyeberangi Kali Amprong. Setelah kembali, ditetapkanlah bahwa rute pendakian lewat Kali Ampong. 

Desa Gubuk Klakah pertahanan menghilang, tertekan kabut yang nantinya menjadi guyuran air berkepanjangan. Rombongan naik ke bukit dan mananjak ke kai Pegunungan Semeru. Tahu-tahu, rombongan harus turun dan turun, menuju lembah besar serta melihat pemandangan indah adanya, danau besar dan lebar.  Perjalanan dilanjutkan di seputaran hutan koloni pepohonan pinus, mencari celah menuju Arcopodo di perbatasan hutan dan tanah bebatuan menjelang puncak Mahameru. 

Gie , Herman dan Tides lansung menafsir info teks buku Belanda. Menurut mereka, di Cemoro Kandang itu, tim akan melewati jalan kuda bikinan Belanda menuju desa kecil di kawasan Lumajang. "Seingat saya, tidak ada yang panik dan tidak ada yang protes, juga tidak ada yang merasa tersesat." Kata Badil.
Perkemahan malam itu di tepian danu gunung, Ranu Kumbolo, di bawah tetsan gerimis dan kabut tebal. Rombongan membentuk kelompok kecil. Gie menjadi sentra perhatian dengan segala kisahnya, soal lagu dan musik yang menurutnya universal "Malah Gie dengan suara falesnya memancing dengan lagu patriotisme kaum pendemo, we're fighting for our freedom...we shall not be moved di AS" ujar Badil. 
Menurut Badil, zaman itu zaman susah buat pendaki gunung. Setelah melalui hutan lumpur, tim istirahat. Tiga pentolan, yakni Herman, Tides, Gie, berjalan berbarengan mencari rintisan jalan ke arah puncak Semeru. 

Gie menuturkan mereka sudah menemukan lorong di tengah semak belukar yang ternyata merupakan pintu masuk rintisan hutan ke arah atas. Mereka menemukan jalan masuk Arcopodo, sebagai salah satu lokasi untuk menuju puncak Mahameru.

Selanjutnya Herman memutuskan bahwa malan ini tim berkemah lagi di Ranu Kumbolo, mengecek perbekalan. Esok paginya berangkat, jika tidak tersesat, menjelang sore akan tiba di puncak.

"Malam hari yang sempat cerah, kami jadikan ajang obrolan dan bersenda gurau dengan Gie. Bayangkan, Gie dengan tegas bilang "Gua akan berulang tahun tanggal 17 Desember, artinya hari Rabu yang lusa itu, besok kan Selasa tanggal 16 Desember. Gimana ya, seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau Jawa" ungkap Badil menirukan ucapan Gie.
Pagi itu, 16 Desember 1969, langit masih setengah gelap, rombongan siap berangkat. Dalam perjalanan, cuaca buruk yang penuh hujan dan gerimis bercampur kabut. Gie lalu bergegas turun, mungkin berbarengan dengan Tides. Sambil berteriak dan turun, Tides menyuruh untuk segera turun karena cuaca tidak bagus. Bau uap sangatlah menyengat membikin sesak kantong udara di paru-paru.

Badil melanjutkan, entah berapa puluh menit berlalu, cuaca belum betul-betul gelap. Lamat-lamat terdengar suara geruduk guliran batu pasir. Terlihat Fredy dan Herman meluncur turun, tanpa Gie dan Idhan. 

Herman datang duluan, sambil mengempaskan diri ke tenda darurat, dia lansung melapor ke Tides. "Gie dan Idhan meninggal, mereka tiba-tiba kejang dan tidak bergerak" kata Herman Seperti Ditirukan Badil. Semua sahabat Gie dan Idhan sangat kehilangan dengan kejadian itu, mereka tidak menyangka temannya meniggal di puncak tertinggi jawa. Jika kalian pernah mendaki Gunung Semeru, ada sebuat batu nisan sebagai pengingat kejadian itu dan in memoriam itu dipasang oleh teman-teman Gie dan Idhan beberapa bulan setelah kejadian mengerikan itu. 

0 Response to "Soe Hok Gie, Pendiri Organisasi Mapala Yang Meningal di Puncak Mahameru"

Posting Komentar

IKLAN DALAM ARTIKEL

Iklan Tengah Artikel 1

IKLAN DALAM ARTIKEL 2

Iklan Bawah Artikel